Penyelesaian Sengketa Tanah Kantor Dishub Merauke Akan Diselesaikan Melalui Jalur Hukum
Merauke, PSP – Hingga saat ini kantor Dinas Perhubungan (Dishub) kabupaten Merauke yang berada di jalan Ermasu dipalang oleh masyarakat yang mengklaim sebagai pemilik hak ulayat tanah Dishub tersebut. Sudah sekitar 1 minggu tidak ada aktifitas pegawai di kantor Dishub Merauke akibat dari pemalangan tersebut.
Masyarakat yang mengklaim sebagai pemilik hak ulayat tanah Dishub tersebut yaitu dari kelompok marga Basik-Basik yang menuntut pembayaran atas tanah tersebut sebesar Rp. 4,4 Miliar dan masyarakat pemilik hak ulayat tersebut meminta panjar 15 persen dari total pembayaran untuk pembukaan palang.
Kepala Dishub Merauke, Walter Mahuze mengatakan bahwa sebenarnya persoalan tanah Dishub di Ermasu ini mau diselesaikan pemerintah itu 10-15 tahun yang lalu, namun pada saat itu banyak masyarakat yang mengaku-ngaku sebagai pemilik tanah tersebut.
” Kami sebenarnya bukan tidak mau bayar waktu itu, tapi hanya karena banyak kepemilikan di atas tanah Dishub ini,” katanya kepada wartawan di terminal pasar Wamanggu, Rabu (3/4).
Jauh sebelum dilakukan pemalangan oleh marga Basik-Basik, banyak pendahulu yang pernah mengklaim sebagai pemilik tanah Dishub bahkan mereka sendiri karena saling ribut mereka bilang tanah Dishub itu tidak beruang, tuan tanahnya ada di PNG.
Dijelaskan Walter, setelah sekian lama persoalan tersebut terjadi, tiba-tiba masyarakat yang mengakur sebagai pemilik hak ulayat tanah Dishub dari marga Basik-Basik melakukan pemalangan tanpa dasar yang kuat.
Dirinya juga melihat masyarakat yang melakukan pemalangan ini satu kekeliruan, tindakan pidana yang melanggar hukum karena mereka tidak punya data yang pasti. Seharusnya jika datanya pasti atau ada gugatan pengadilan silahkan dipalang.
“Ini dasar tidak ada terus mereka melakukan pemalangan, hanya dasar nenek leluhur dari PNG, kalau nenek leluhur dari PNG kita bisa bilang begitu tapikan buktinya tidak ada. Jadi tanah tidak bertuan ini sekarang kita mau akui siapa tuan tanahnya, satu-satu jalan lewat keputusan pengadilan. Kalau memang pemerintah belum pernah selesaikan atau ganti rugi atau kompensasi yang belum pernah diberikan, pasti pemerintah selesaikan tetapi melalui cara yang baik yaitu melalui keputusan pengadilan,” jelasnya.
Bahkan, lanjutnya, disaat proses ini berjalan, dari LMA Imbuti juga mengaku bahwa ketua LMA mengklaim sebagai pemilik tanah kantor Dishub Merauke.
“ Jadi didalam status tanah Ermasu itu untuk saat ini ada 2 yang mengaku pemilik yaitu LMA Imbuti dan marga Basik-Basik yang asalnya dari PNG,” lanjutnya.
Dengan persoalan ini, dirinya akan menempuh jalur hukum melalui pengadilan untuk mencari solusi untuk pembayaran, sudah tidak lagi dengan cara negosiasi bersama
“ Karena harus berdasarkan keputusan pengadilan sehingga misalnya marga Basik-Basik yang dapat atau LMA yang dapat itu harus pengadilan yang putuskan bukan satu pihak mengklaim habis itu palang kita punya kantor,” sambung Walter.
Walter juga mengungkapkan bahwa setelah pihaknya telusuri, Dishub kabupaten Merauke khusus tanah yang di Ermasu itu memiliki 3 surat ukur yaitu Surat Ukur Nomor 47 Tahun 1975, Surat Ukur Nomor 79 Tahun 1977 dan Surat Ukur Nomor 509 Tahun 1995 dan pihaknya telah koordinasikan dengan Badan Pertanahan agar menyiapkan dokumen tersebut.
” Kalau ada surat ukur seperti ini berarti kan tidak bisa dibayar, kalaupun mau dibayar berarti harus melalui satu mekanisme yaitu keputusan pengadilan, takutnya kita bayar ada lagi yang datang kita bayar padahal kita sudah pernah selesaikan. Maka untuk keputusan pembayaran dan lain-lain harus melalui keputusan pengadilan, biarlah jalur hukum yang memutuskan bayar atau tidak, pemerintah pasti bayar kalau itu keputusan pengadilan,” ungkapnya.
Untuk itu, pihaknya juga telah menyurat ke Polres Merauke agar masyarakat yang melakukan pemalangan kantor Dishub Merauke dibubarkan sehingga aktivitas pegawai bisa berjalan kembali. ” Tanggal 1 Juli kami sudah menyurat ke Kapolres Merauke untuk kalau bisa membubarkan masa atau pemilik hak ulayat yang saat ini mereka menganggap bahwa mereka pemiliknya karena mereka melakukan sabotase kantor dan pemalangan sehingga ini mengganggu aktivitas pemerintah,” pungkasnya.[JON-NAL]