Komunitas Wartawan Papua Selatan Tolak RUU Penyiaran
Merauke, PSP – Sejumlah jurnalis di Provinsi Papua Selatan yang tergabung dalam Komunitas Wartawan Daerah (KWD) Papua Selatan menolak revisi Rancangan Undang-Undang Penyiaran yang saat ini tengah dibahas di DPR.
Menurut Ketua Komunitas Wartawan Daerah (KWD) Provinsi Papua Selatan, Eman Riberu RUU tersebut membatasi kerja Jurnalis dalam melakukan Investigasi.
“Itu bertentangan dengan kebebasan Pers. Harus diketahui, jurnalisme investigasi itu bagian dari kerja-kerja jurnalistik atau insan pers, sehingga kami sangat menentang dengan adanya rancangan Undang-Undang tersebut,” kata Eman di Merauke, Selasa (21/5).
Menurut Eman, jika RUU tersebut ditetapkan, sama halnya pemerintah mengekang kebebasan Pers di negara Indonesia.
Hal senada disampaikan salah seorang wartawan senior Papua Selatan, Hendrikus Petrus Resi.
Ia menganggap termaktub beberapa pasal kontroversi yang seakan membungkam kebebasan PERS.
“Karena di dalamnya memuat sejumlah pasal kontroversi membungkam kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi serta mengungkung proses demokrasi. Jika RUU ini disahkan menjadi UU, Lembaga penyiaran akan menjadi wahana legislatif memainkan perannya menekan jurnalis. Menjadi ancaman terhadap demokrasi dan kemerdekaan pers,” timpal Hendrik.
Sejumlah pasal dimaksud, diantaranya, pasal 50 B ayat 2 huruf c yang mengatur larangan penayangan eksklusif liputan investigasi, begitu pula pasal 50B ayat (2) huruf K, pasal 8A ayat (1) huruf Q, dan Pasal 51 E.
Selain itu, ada pula pasal 8A ayat (1) huruf Q berbunyi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam menjalankan tugas berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik di bidang penyiaran.
“Dalam peraturan Undang-Undang Pers yang berhak menyelesaikan sengketa Pers adalah Dewan Pers, rancangan UU itu berdampak akan memberanguskan kerja-kerja investigasi pekerja Pers dalam menyampaikan laporan kebenaran atas temuan liputannya,” tambahnya.
Hendrik menuturkan, liputan investigasi adalah hal penting bagi jurnalis sebagai fungsi kontrol terhadap pemerintah maupun swasta.
Sebab, pasca reformasi kehadiran Pers menjadi salah satu pilar demokrasi, termasuk memberikan kemerdekaan pers tanpa harus dibredel.
“Bila RUU itu disahkan sama saja kebenaran dibungkam,” tegasnya.
Ia menyebut, ada dua pasal tersebut yaitu pasal 50 B ayat (2) poin C yang mengatur pelarangan media menayangkan konten atau siaran eksklusif jurnalisme investigasi dan pasal 8A poin Q yang mengatur tentang sengketa jurnalistik.
“Pasal-pasal kontroversi yang dapat mematikan kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi, DPR seharusnya menjadikan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai rujukan utama dalam penyusunan pasal yang mengatur tentang penyiaran karya jurnalistik,” jelas Hendrikus.
Namun anehnya, pada konsideran draft RUU Penyiaran sama sekali tidak mencantumkan Undang-Undang Pers.
Oleh karenanya, kata dia, pihaknya mendesak agar pasal kontroversi itu harus dihapus.
“Sebab tidak ada dasar yang jelas bagi DPR melakukan pelarangan terhadap media menayangkan atau menyiarkan konten eksklusif jurnalisme investigasi, selain itu akan menyebabkan tumpang tindih kewenangan dalam penyelesaian sengketa jurnalistik antara KPI dan Dewan Pers,” ujarnya.
Diduga, sambungnya, ada pihak-pihak yang merasa tidak nyaman terhadap kebebasan Pers terutama yang melakukan investigasi jurnalistik.
“Ada yang toxic terhadap kebebasan pers, kita belum tahu siapa yang memasukkan pasal-pasal yang merenggut kemerdekaan pers, upaya merenggut kemerdekaan pers sudah berlangsung sejak 2007, upaya tersebut terus berlangsung hingga RUU KUHP tahun 2024,” tutup Hendrik. [ERS-NAL]