BPOM Bangun Sinergi Wujudkan Kemandirian Produk Darah Dalam Negeri
Merauke, PSP – Pengembangan fasilitas fraksionasi plasma, sebagai penopang kemandirian produk darah dalam negeri, perlu mendapat perhatian khusus. Seluruh produk derivat plasma yang digunakan di Indonesia saat ini, dirasakan semakin meningkat kebutuhannya dan merupakan produk impor dengan harga yang tinggi.
Untuk itu pada Senin (21/11), BPOM menginisiasi “Forum Lintas Sektor Pengembangan Industri Fraksionasi Plasma Dalam Rangka Mewujudkan Kemandirian Produk Darah Dalam Negeri”. Melalui Forum ini, BPOM mengupayakan adanya peningkatan koordinasi dan komitmen antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, Palang Merah Indonesia (PMI), rumah sakit, dan industri farmasi agar dapat memfasilitasi terkait regulasi, sumber daya, maupun ketersediaan dan kesiapan teknologi untuk percepatan pengembangan industri fraksionasi plasma dalam negeri.
Kepala BPOM RI, Penny K. Lukito yang hadir langsung dalam sambutannya menyebutkan bahwa Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar berpotensi untuk dapat menghasilkan plasma darah yang kemudian dapat diolah menjadi produk derivat plasma. Akan tetapi, hingga kini belum ada Industri Farmasi dalam negeri yang siap untuk mengolah plasma menjadi produk derivat plasma, baik dari sisi bisnis maupun teknologi yang akan digunakan.
“ Kondisi saat ini menunjukkan bahwa fasilitas fraksionasi plasma membutuhkan investasi yang sangat besar, namun tidak profitable, mengingat plasma darah tidak untuk dikomersialisasi. Untuk itu, perlu diberikan dukungan dan intervensi pemerintah dalam mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi Unit Transfusi Darah (UTD) dan Industri Farmasi yang akan mengembangkan industri fraksionasi plasma,” jelas Kepala BPOM dalam siaran persnya.
Plasma darah merupakan komponen terbanyak dari darah manusia dengan kandungan penting, salah satunya protein dan antibodi yang berfungsi mengobati masalah kesehatan serius, serta menjadi terapi untuk kondisi kronis yang langka, termasuk gangguan autoimun dan hemofilia. Kandungan plasma darah yang digunakan dalam pengobatan atau terapi tersebut diperoleh melalui proses pengolahan yang sangat spesifik, begitu pula metode uji yang digunakan. Hasil dari proses pengolahan tersebut menghasilkan sediaan farmasi yang disebut sebagai Produk Derivat Plasma atau Plasma Derivated Medicinal Products (PDMP).
Untuk mencapai kemandirian produk darah dalam negeri, diperlukan bahan baku plasma yang berasal dari UTD yang telah tersertifikasi Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Saat ini, terdapat 19 (sembilan belas) UTD yang memperoleh sertifikat CPOB, yaitu 18 (delapan belas) UTD PMI dan 1 (satu) UTD rumah sakit. BPOM terus berupaya mendukung penyiapan fasilitas UTD yang tersertifikasi CPOB untuk menjamin mutu plasma darah dan dapat memenuhi kecukupan serta kontuinitas kebutuhan bahan baku plasma tersebut.
Untuk mendorong penerapan CPOB di UTD, BPOM telah menerbitkan beberapa regulasi yang dapat digunakan UTD untuk memahami dan melaksanakan persyaratan CPOB dalam menghasilkan plasma darah yang bermutu dan aman, yang merupakan bahan awal pembuatan produk derivat plasma di fasilitas fraksionasi plasma. Selain itu, sejak tahun 2015, BPOM secara aktif mengawal UTD untuk menerapkan CPOB melalui upaya-upaya peningkatan kompetensi sumber daya manusia (SDM), seperti melalui pelatihan/workshop dan bimbingan teknis terkait CPOB, asistensi on-site ke UTD, dan sertifikasi CPOB.
Peran BPOM dalam pengawasan produk darah telah tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 83 tahun 2014 tentang Unit Transfusi Darah, Bank Darah Rumah Sakit, dan Jejaring Pelayanan Transfusi Darah, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Fraksionasi Plasma, dan Peraturan Kepala Badan POM No 10 tahun 2017 tentang Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat Yang Baik di Unit Transfusi Darah dan Pusat Plasmaferesis.
“ Melalui Forum ini, diharapkan juga dapat menjadi sarana berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam pelaksanaan blood regulatory oversight antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, sebagai salah satu bentuk dukungan pemerintah daerah bagi keberhasilan UTD dalam pemenuhan CPOB,” ujar Kepala BPOM.
Hal ini, menurut Kepala BPOM, penerapan CPOB berfungsi untuk memastikan keamanan dan mutu produk derivat plasma selama proses produksi, sebelum beredar dan digunakan.
Sinergi berkelanjutan antara kementerian/lembaga, serta kolaborasi Academia, Business, Government and Community (ABGC) diharapkan dapat memberikan masukan dalam mewujudkan fasilitas produksi produk derivat plasma dalam negeri yang aman, berkhasiat, bermutu, dan berdaya saing di pasar Internasional. Selain itu, dengan terbangunnya komitmen antara pihak-pihak yang terkait, diharapkan pemenuhan standar dan persyaratan dalam pengembangan plasma darah dan produk derivat plasma yang aman dan bermutu dapat terus terkawal dalam rangka mencapai kemandirian produk derivat plasma dalam negeri.
Dalam rangka mendukung kemandirian produk darah dalam negeri tersebut, BPOM telah menjalin kerja sama dengan PMI yang mengelola Unit Donor Darah (UDD) di dalam negeri sejak tahun 2019. Dukungan BPOM diberikan dalam bentuk asistensi regulatori, prasertifikasi, serta sertifikasi CPOB kepada 18 UDD PMI di seluruh Indonesia. Kedelapan belas UDD PMI tersebut telah mampu memenuhi kebutuhan produk darah dalam negeri. Untuk menjamin penerapan CPOB secara konsisten, BPOM terus melaksanakan pengawasan rutin pada UDD PMI yang telah tersertifikasi CPOB, serta mendorong UDD PMI lainnya agar dapat memperoleh sertifikat CPOB.
Bersamaan dengan Forum pada hari ini, BPOM memperbarui kerja sama dengan PMI tentang Peningkatan Mutu Produk Darah yang ditandai dengan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) oleh Kepala BPOM dan Ketua Umum PMI, Jusuf Kalla. Melalui pembaruan ini, kerja sama akan diperluas mencakup penyusunan regulasi terkait produk darah, pengembangan kurikulum pelatihan bagi inspektur CPOB BPOM, serta pengembangan kompetensi SDM BPOM dan PMI.[JON-NAL]