Problematika Pendidikan Nilai Untuk Kaum Muda

Leo Lelyemin
Oleh : Leo Lelyemin (Guru SMA Negeri 2 Merauke, saat ini sebagai mahasiswa program Magister Manajemen Pendidikan FKIP Uncen Jayapura)
“Mendidik seseorang hanya pada pikirannya saja dan tidak pada moralnya sama artinya dengan mendidik seseorang yang berpotensi menjadi ancaman bagi masyarakat”
(Theodore Rosevelt).
Pendidikan nilai selalu berkaitan dengan kehidupan konkret manusia. Tujuan utama pendidikan adalah untuk membentuk manusia menjadi pintar dan baik. Manusia sendiri adalah makhluk multidimensional. Namun ia juga terus menjadi personal. Mengapa demikian? Karena manusia adalah makhluk dinamis, paradoksal, dan misterius. Sifat dinamis membuat manusia terus-menerus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Sifat paradoksalnya membuat manusia tidak akan habis untuk didalami, dan sifat misteriusnya menjadikan manusia tetap merupakan sebuah rahasia yang tidak bisa diungkap secara tuntas. Misteriusitas manusia terungkap dalam cara berpikir, bertindak, dan aneka persoalan kemanusiaan yang terjadi.
Di zaman sekarang persoalan kemanusiaan semakin banyak dan semakin kompleks. Berbagai tindakan kekerasan dalam kehidupan masyarakat semakin mencemaskan. Tindakan kekerasan terjadi di jalanan maupun di sekolah. Belum lama ini terjadi kasus penikaman dan pembacokan. Di kalangan pemerintah, terdengar isu praktek tidak jujur yang tercermin dalam tindak korupsi dan pemanfaatan jabatan. Di lingkungan pendidikan rendah sampai perguruan tinggi budaya menyontek dan plagiat sudah menjadi kebiasaan. Ketidakdewasaan pribadi seperti tercermin dalam penyalahgunaan obat-obatan, penyimpangan perilaku seksual dikalangan remaja, dan penyebaran berita bohong (hoax).
Beberapa waktu lalu muncul pula sikap dan perilaku masyarakat yang intoleran terhadap segala bentuk perbedaan, baik agama, adat-istiadat, dan bahkan perbedaan pandangan. Kesenjangan sosial dan kasus kekerasan majikan terhadap kaum buruh. Di kalangan remaja dan kaum milenial muncul masalah merebaknya paham radikalisme yang berujung pada tindakan terorisme. Meningkatnya pergaulan bebas dan kasus perselingkuan. Maraknya angka kekerasan anak-anak dan remaja: kejahatan terhadap teman, pencurian, pornografi, perusakan barang milik orang lain, perilaku curang, tidak menghormati figur otoritas, fanatik, kekerasan dan pembunuhan terhadap guru, kekejaman teman sebaya, bahasa yang kasar. Meningkatnya sifat mementingkan diri sendiri dan menurunnya tanggungjawab sebagai warga negara, perilaku merusak diri, dan masih banyak daftar tindakan kriminal yang bisa dilanjutkan disini.
Secarak spesifik untuk konteks Provinsi Papua, berdasarkan data base Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi RI (Kemendes PDTT RI) tahun 2018, terekam sebanyak 2.003 kasus kejadian konflik di Papua, yang sebagian besar (53,92%) disebabkan karena maraknya kasus pencurian.Dari 29 kabupaten/kota di Provinsi Papua berdasarkan akumulasi kasus kejadian tertinggi yaitu terdapat pada kabupaten Puncak Jaya yaitu sebanyak 169 kasus. Selanjutnya, terdapat beberapa daerah lain yang tergolong sangat tinggi didominasi pada wilayah La Pago diantaranya kabupaten Jayawijaya, Yalimo, Nduga, Lanny Jaya, Pegunungan Bintang, Tolikara dan Yahukimo. Wilayah seperti Merauke, Paniai, Waropen, Mimika, Intan Jaya, Nabire, dan Mappi berada pada kuantitas kasus sedang. Sedangkan terdapat juga daerah dengan kasus paling sedikit yaitu kabupaten Mamberamo Tengah, Mamberamo Raya dan Supiori.
Persoalan-persoalan di atas menimbulkan keresahan dan mengusik rasa aman dalam kehidupan masyarakat.Dunia pendidikan sebagai wadah pembentuk akalbudi dan kepribadian manusia dianggap gagal dalam melaksanakan tugasnya. Kesadaran akan kegagalan ini menjadi pekerjaan rumah bagi semua komponen pendidikan, baik pemerintah, masyarakat, sekolah (institusi pendidikan), dan keluarga untuk segera diselesaikan. Secara historis, para pendiri bangsa Indoensia telah merumuskan tujuan pembangunan nasional yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam mewujudkan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.” Apakah tujuan pembangunan nasional ini sudah tercapai?
Sejarah perjalanan pendidikan bangsa juga melahirkan kesadaran bahwa upaya mewujudkan cita-cita mulia ini bukanlah pekerjaan mudah. Pekerjaan dunia pendidikan untuk memanusiakan manusia selalu bersifat dinamis dan tidak akan pernah berakhir. Bahkan, dunia pendidikan secara internal berhadapan dengan problematikanya sendiri. Mantan Wakil Presiden RI Boediono mengatakan: “Saya harus menyatakan bahwa sampai saat ini kita belum punya konsepsi yang jelas mengenai substansi pendidikan ini. Karena tak ada konsep yang jelas, timbullah kecenderungan untuk memasukkan apa saja yang dianggap penting ke dalam kurikulum. Akibatnya, terjadilah beban berlebihan pada anak didik. Bahan yang diajarkan terasa “berat” tetapi tak jelas apakah anak mendapatkan apa yang seharusnya diperoleh dari pendidikannya” (Boediono, wakil Presiden RI – Pendidikan Kunci Pembangunan) (Kompas.com, 27/8/12).
Kutipan di atas menunjukkan satu masalah serius dari sistem pendidikan Indonesia, yaitu ketidak-jelasan substansi pendidikan. Kalau substansi pendidikan saja tidak jelas maka proses pelaksanaan pendidikan akan menemui banyak kendala. Tidak hanya itu, menurut Kristiyanto (2013:53) sebenarnya dunia pendidikan Indonesia sedang menghadapi berbagai persoalan. Persoalan itu meliputi: kurikulum yang kurang standar, mutu guru yang rendah, kesejahteraan guru yang memprihatinkan, infrastruktur yang masih kurang, mahalnya biaya pendidikan, kurang relevannya pendidikan dengan kebutuhan tenaga kerja, masalah pemerataan pendidikan dsb.Ironisnya, ilmu pengetahuan dan teknologi yang pada hakikatnya bertujuan untuk memberi solusi atas masalah hidup manusia, ternyata turut memberi andil bagi munculnya persoalan-persoalan yang baru.
Salah satu murid Husserl bernama Jan Patocka (Wibowo, 2017:20) menunjukkan bahwa, sains dan teknologi telah mengubah hidup manusia. Bila peradaban Eropa semula dibentuk oleh ide filosofis perawatan jiwa – pembentukan internalitas diri manusia-, maka sains dan teknologi menawarkan sesuatu yang sama sekali lain. Lewat teknologi, manusia diberi ilusi bisa mengembangkan dirinya secara cepat dan tak terbatas secara kuantitatif. Pertumbuhan atas dasar logika sains dan teknologi yang hanya mengenal istilah cepat atau lebih cepat lagi menghilangkan sesuatu yang wajar dan normal dalam hidup manusia, yaitu, keseimbangan individu maupun komunal. Inilah pangkal krisis. Manusia yang tenggelam dalam arus mencari yang lebih cepat, lebih canggih, dan selalu lebih banyak, melarutkan dirinya dalam keragaman tanpa fokus. Bukannya menemukan dirinya, arus yang serba cepat membuat manusia tersesat diantara banyak hal yang melingkupinya. Dalam hasratnya merangkul segala sesuatu, ia malah tidak menjadi apa pun dan kehilangan jati dirinya sendiri.
Praksis pendidikan memperlihatkan bahwa, teknologi membuat orang menerapkan cara berpikir teknis sehingga memperlakukan anak didik sepertihard disk kosong. Guru diumpamakan operator komputer yang bertugas mengunduh semua program pendidikan yang disediakan oleh server (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan). Orang tua berpikir yang sama. Anak-anak diperlakukan seperti memory card yang kosong, yang hendak diisi sepenuh-penuhnya dengan berbagai fitur program lewat kursus Bahasa Inggris, Matematika, les musik, dll. Asumsi seperti ini yang mendasari kebijakan, misalnya, mengetes anak-anak TK yang mau masuk SD dengan kemampuan “membaca, menulis, dan menghitung”!
Pada saat masuk SD, anak-anak di negeri ini dijejali dengan kurikulum yang berat dimana anak-anak kecil diberi beban yang melebihi kewajaran usia mereka. Pengandaianya, semakin cepat anak-anak tahu berbagai macam ilmu, semakin cepat pintar, dan semakin cepat membuat generasi kita mengejar ketertinggalan kita dari bangsa-bangsa lain. Beban berat anak-anak SD masih diperparah dengan kursus di luar sekolah seperti komputer atau bahasa Inggris. Muncullah penyakit school refusal, di mana anak-anak menolak bersekolah karena frustrasi berhadapan dengan beban yang tidak menyenangkan. Akibatnya, tak jarang sekarang muncul gejala anak-anak yang menolak berangkat sekolah, atau mengalami depresi, sensitif, gampang marah, bengal, memberontak, menghabiskan waktu dengan bermain game, minder, dan mengambil perilaku berisiko tinggi.
Bila generasi muda yang kita bentuk sekarang ini adalah generasi yang lelah, apa bisa mereka menjadi manusia-manusia kreatif, kunci kemajuan teknologi itu sendiri? Landasan penguasaan teknologi adalah manusianya. Bila generasi muda kita jadikan manusia-manusia lelah serta malas berpikir, bukankah semua upaya di atas justru makin menjauhkan kita dari tujuan yang hendak dicapai? Belum lagi metode pengajaran yang murni berbasiskan hapalan dan contekan! Sulit membayangkan bahwa di masa depan kita akan memiliki orang-orang yang mampu memimpin dan memiliki energi kreatif memajukan bangsa bila model pendidikan teknologis yang diterapkan saat ini serbah salah kaprah. Model pendidikan berbasis hapalan hanya memunculkan manusia-manusia pintar yang minus karakter-karakter yang diperlukan untuk kebaikan masyarakatnya.
Theodore Rosevelt (Lickona, 2018:3) mengatakan bahwa, “mendidik seseorang hanya pada pikirannya saja dan tidak pada moralnya sama artinya dengan mendidik seseorang yang berpotensi menjadi ancaman bagi masyarakat.”Pernyataan ini senada dengan apa yang dikatakan oleh William Kilpatrick, “bahwa persoalan mendasar yang dihadapi seolah-sekolah kita sekarang ini adalah persoalan moral. Persoalan-persoalan lainnya bersumber dari persoalan ini. Bahkan reformasi akademis bergantung pada bagaimana kita mengedepankan karakter.” Tentu saja, tidak semua kaum muda mengadopsi standar-standar moral yang bobrok. Ada banyak kaum muda yang menunjukkan kesadaran moral yang tinggi, komitmen terhadap hak asasi manusia, dan kepedulian lingkungan. Namun yang disoroti di sini adalah tren kaum muda pada umumnya yang menampilkan gambaran kelam yang diindikasikan dengan berbagai problematika kehidupan yang mereka hidupi.
Sebetulnya, pendidikan moral bukanlah sebuah gagasan baru. Pendidkan moral sama tuanya dengan pendidikan itu sendiri. Sepanjang sejarah, pendidikan memiliki dua tujuan besar yaitu membentuk anak-anak menjadi pintar dan membentuk mereka menjadi baik.Persoalan-persoalan di atas mengatakan tentang kemendesakan internalisasi nilai-nilai moral melalui pendidikan kepada peserta didik. Oleh karena itu, terdapat beberapa alasan mengapa sekolah-sekolah harus membuat komitmen dengan berpikir jernih dan sepenuh hati untuk mengajarkan nilai-nilai moral dan membangun karakter yang baik.
Pertama, ada kebutuhan yang jelas dan mendesak. Kaum muda semakin sering merusak diri mereka dan orang lain, dan semakin tidak peduli untuk berkontribusi terhadap kesejahteraan sesama manusia. Dalam keadaan seperti ini mereka mencerminkan masyarakat yang sakit yang membutuhkan pembaharuan moral dan spiritual.
Kedua, menyampaikan nilai-nilai selalu menjadi tugas peradaban. Sebuah masyarakat membutuhkan pendidikan nilai untuk bertahan hidup dan tumbuh subur untuk membuat dirinya tetap utuh dan berkembang menuju kondisi-kondisi yang mendukung perkembangan penuh semua manusia yang menjadi anggotanya. Secara historis ada tiga institusi sosial yang memiliki tugas untuk memberikan pendidikan moral yaitu: rumah, sekolah, dan tempat ibadah.
Ketiga, peran sekolah sebagai pendidik moral menjadi semakin vital pada saat ketika jutaan anak hanya mendapatkan sedikit ajaran moral dari orang tua mereka dan ketika pengaruh dari tempat-tempat yang menjadi pusat nilai seperti rumah ibadah juga tidak hadir dalam hidup mereka. Sekarang ini, ketika sekolah tidak memberikan pendidikan moral, maka pengaruh-pengaruh yang menjadi musuh karakter yang baik akan segerah masuk mengisi kekosongan nilai-nilai tersebut.
Keempat, demokrasi punya kebutuhan khusus terhadap pendidikan moral, karena demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat. Masyarakat harus peduli terhadap hak-hak orang lain dan kebaikan bersama serta bersedia untuk menerima tanggungjawab sebagai warga negara yang demokratis.
Kelima, pendidikan bebas nilai itu tidak ada. Semua yang dilakukan sekolah mengandung ajaran nilai-nilai, termasuk cara guru dan orang dewasa lainnya memperlakukan siswa, cara kepala sekolah memperlakukan para guru, cara sekolah memperlakukan orang tua, dan cara yang diperbolehkan bagi siswa dalam memperlakukan karyawan sekolah dan sesama teman. Jika masalah benar atau salah tidak pernah dibahas di dalam kelas, keadaan ini juga mengajarkan sebuah pelajaran tentang seberapa besar arti moralitas.
Keenam, pertanyaan-pertanyaan moral adalah salah satu dari sejumlah pertanyaan besar yang harus dihadapi manusia individual dan bangsa manusia. Bagi kita sebagai individu, pertanyaan yang paling penting adalah: “Bagaimana saya harus menjalani hidup?” Sementara bagi kemanusiaan, ada dua pertanyaan paling penting yangkita hadapi: “Bagaimana kita hidup berdampingan dengan satu sama lain?” dan “Bagaimana kita hidup berdampingan dengan alam?”
Ketujuh, ada dukungan secara luas yang semakin kuat untuk memberikan pendidikan nilai di sekolah. Dukungan dari pemerintah yang meminta sekolah mengajarkan nilai yang dibutuhkan untuk membentuk warga negara yang baik dan masyarakat yang taat hukum. Dukungan dari kalangan bisnis, yang melihat bahwa angkatan kerja yang bertanggungjawab menuntut keberadaan para pekerja yang memiliki karakter yang jujur, dapat diandalkan, punya harga diri dalam pekerjaan. Dukungan dari kalangan orang tua yang senantiasa menghendaki dan mencari bantuan pendidikan bagi anak-anak mereka agar menjadi anak yang cerdas dan baik.
Kedelapan, pendidikan nilai adalah sebuah pekerjaan yang bisa dilakukan. Pendidikan nilai dapat dilakukan dalam aktivitas sekolah sehari-hari, hal ini sekarang sedang berlangsung di dalam sistem-sistem sekolah di seluruh negeri. Hasilnya adalah terdapat perubahan positif dalam sikap dan perilaku moral para siswa, serta memperlihatkan bahwa lebih mudah diajarkan oleh para guru dan lebih mudah dipelajari para siswa.[***]