Belum Membawa Manfaat, MRP Papua Selatan Desak Evaluasi Izin Perusahaan Sawit di Wilayahnya
Merauke, PSP – Anggota Pokja Adat Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua Selatan, Katarina Maria Yaas menekankan bahwa perusahaan sawit yang beroperasi di wilayah Papua Selatan belum memberikan manfaat yang bagi masyarakat adat, yang merupakan pemilik sah lahan tempat ditanamnya sawit.
Yaas secara tegas menyampaikan kekhawatirannya kepada Wakil Presiden Republik Indonesia saat berkunjung ke Papua Selatan beberapa waktu lalu.
Dia menyampaikan perlunya evaluasi terhadap izin perusahaan sawit yang beroperasi di wilayah Papua Selatan.
“Dalam pertemuan dengan Wapres RI, saya menegaskan bahwa perusahaan sawit yang beroperasi di Papua Selatan belum membawa manfaat yang berarti bagi masyarakat adat yang menjadi pemilik sah lahan, sehingga kami menyampaikan ke Wapres agar ijin perusahaan sawit dilakukan evaluasi,” ungkap Yaas kepada wartawan di Kantor MRP Provinsi Papua Selatan, kemarin.
Saat kunjungan Wapres RI saat itu, Yaas tampak dipanggil oleh Wapres Ma’ruf Amin saat hendak dirinya keluar dari ruangan groundbreaking pusat pemerintahan Papua Selatan KTM Salor di Hotel Swiss-Bell.
Kesempatan itu Yaas gunakan untuk menyampaikan agar ijin sawit di Papua Selatan dilakukan evaluasi.
Permintaan evaluasi ini mencuat atas kesadaran akan pentingnya peran pemerintah dalam memastikan bahwa investasi di Papua Selatan memberikan manfaat yang adil bagi masyarakat adat yang terdampak.
Hal ini menjadi panggilan untuk meninjau ulang izin perusahaan sawit dan memastikan bahwa keberadaan mereka tidak hanya menguntungkan pihak perusahaan, tetapi juga membawa dampak positif yang nyata bagi masyarakat adat setempat.
“Ya ini harus dievaluasi karena melakukan kewajiban saja pihak perusahaan lalai,” kata Yaas.
Selayaknya, sambung Yaas, semua investor yang sudah beroperasi dan akan beroperasi wajib mentaati dan menghormati norma hukum adat setempat.
Selain itu setiap perusahaan perkebunan yang hendak beroperasi harus melakukan kewajiban perusahaan sesuai ketentuan undang-undang perkebunan yaitu 20 persen kebun plasma wajib dibangun.
Dampaknya, kata dia, begitu banyak tenaga kerja lokal yang diperlakukan tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang ketenagakerjaan sebab bersifat kontrak.
“Tidak pernah diangkat (menjadi pegawai tetap), sehingga terjadi pemutusan tenaga kerja yang suka-suka,” lanjutnya.
Dijelaskan, kehadiran investasi di tanah Papua sudah selayaknya menyejahterakan masyarakat akan tetapi sampai hari ini masyarakat yang harus nya menerima manfaat tetap pada posisi semula yakni miskin.
“Investasi masuk di atas tanah adat tetapi masyarakat adat menjadi miskin, dan kelaparan ditanah nya sendiri, seperti di dusun Mam, sampai hari ini perusahaan itu masih dipalang oleh masyarakat,” tegas Yaas. [ERS-NAL]