Moderenisasi Berkembang Pesat, Budaya yang Menjadi Identitas Diri Dikhawatirkan Mulai Hilang
Isaias Ndiken,S.Sn
Merauke, PSP – Mulai dari bahasa, makanan sagu dan tanah yang merupakan identitas orang Malind – Anim sudah sepantasnya terus dapat dijaga.
Mengingat jaman modernisasi kian lama berkembang pesat membuat budaya yang menjadi identitas diri dikhawatirkan mulai hilang.
Seperti bahasa misalnya, menurut Peneliti Bahasa Balai Bahasa di Provinsi Papua, Yohanes Sanjoko menyebutkan beberapa bahasa suku di Kabupaten Merauke terancam hilang seiring perkembangan jaman. Selain itu, penyebabnya tidak lagi adanya penutur dari bahasa – bahasa diantara beberapa bahasa yang ada.
Seperti Kanum, Yeinan, Riantana, Duv, Bov, Marori, maupun Marind.
Bahasa Marori dan Kanum, menurut survei peneliti jumlah penuturnya semakin tidak ada.
Sedangkan makanan seperti Sagu, menurut Dosen Antropologi Universitas Cendrawasih Ahmad Kadir mengatakan, berbicara mengenai sagu bukan sebatas konsumsi tapi sagu adalah sebuah identitas kebudayaan.
“Ketika nanti ini tidak ada, maka identitas kultural sagu itu akan hilang. Ini terjadi, kami sudah membuat jurnal mengenai Sagu dan Kelapa Sawit diatas Tanah Orang Marind. Masuknya era globalisasi kapital, masyarakat tertekan dengan adanya kekuatan ekonomi global, misalnya MIFEE maupun perkebunan kelapa sawit,” ujar Ahmad Kadir di Bandara Mopah baru – baru ini.
Ahmad menyebutkan, sagu diprediksi akan hilang. Sebab dijaman saat ini, sudah terjadi pergeseran pola makan dari penduduk asli.
“Ya sejak dua tahun kami lakukan penelitian ini hampir hilang. Hanya ada di beberapa spot – spot,” kata Ahmad Kadir.
Sedangkan, Kabid Kebudayaan Isaias Ndiken,S.Sn menuturkan menjaga identitas itu ada urusan lintas substansi yang menjadi aktor menjaganya.
“Ada urusan substansi kebudayaan. Memang jaman sudah berubah dari tradisional ke jaman modern, sekarang kita berada dalam jaman westrenisasi. Dimana terjadi inkorporasi lalu inovasi kebudayaan. Otomatis terjadi transformasi kebudayaan,” tuturnya.
Mengenai sagu yang di wilayah Kimaam disebut Waruwundu, dan di Tanah Besar disebut Vayanim sudah hilang.
“Sekarang Vayanim tidak ada, kalau adatnya masih ada, pohon sagu ada berdiri, kebudayaan dinamis dia berubah bergeser jauh dari adat itu sendiri. Jadi menjaga itu, misalnya perkebunan tanam sagu, pertanian tanam pisang,” ujarnya.
Dia mengakui, makanan sebagai identitas yakni Sagu lambat laun akan terlupakan.
“Siapa pun tidak akan memungkiri ini, Bagaimana mereka masyarakat mempertahankan budaya itu. Ada dinas yang linear dengan kebuadayaan lintas SKPD sehingga aktivitas kebudayaan itu tetap terjaga,” imbuhnya.
Mengenai bahasa, kata dia, tidak menjadi pertanyaan mengapa saat ini bahasa yang adalah identitas diprediksi akan hilang, sebab jauh sebelumnya terjadi upaya bahwa di sekolah tidak boleh berbahasa adat.
“Dulu sewaktu saya sekolah mulut diganjal dengan lidi, karena tidak boleh berbahasa Malind di sekolah tahun 1972. Karena dianggap kesalahan ketika menggunakan bahasa Malind. Baru sekarang siapa yang bertanggung jawab. Harus ada perda muatan lokal, agar wajib sekolah – sekolah memasukkan itu kedalam kurikulumnya,” ujar dia.
Dikatakan Isaias, bahwa jauh sebelumnya sudah diprediksi identitas – identitas ini akan hilang.
“Hubert Murray Gubernur yang bertempat tinggal di Port Moresby pernah berujar ditahun 1941 bahwa pada suatu ketika suku Malind akan jadi orang asing diatas tanah sendiri karena kehilangan identitas. Dan ditahun 1975 Monsinyur Hermanus Tiremans dia juga mengujar yang sama, karena dilihat dari proses akulturasi yang tidak seimbang, dan itu terjadi sekarang,” kata Isaias. [ERS-NAL]