Peringatan Hari Ibu dan Potret Perempuan di Merauke
Oleh : Natalia Pipit Duwi Ariska (PNS di BPS Kabupaten Merauke)
Twibbon dan quotes tentang ibu bertebaran di berbagai platform media sosial sebagai bentuk euphoria pada peringatan hari ibu ke-93 tahun pada 22 Desember 2021 kemarin. Tema yang diusung dalam peringatan hari ibu tahun ini adalah Perempuan Berdaya, Indonesia Maju. Secara umum, seorang perempuan dikatakan berdaya jika peran dan hak dalam hidupnya sudah sama dengan laki-laki. Seorang ibu atau perempuan dalam budaya patriarki masih seringkali dianggap lebih “rendah” dibanding laki-laki sehingga mengecilkan peran perempuan bahkan memutus akses perempuan terhadap pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan dan pencegahan kekerasan yang harusnya sudah bisa mengantar perempuan pada gerbang pemberdayaan. Jika Stereotype yang melemahkan perempuan seperti itu belum hilang apakah perempuan kita sudah dapat dikatakan berdaya?
Perempuan dengan Peran Ganda
Berbicara masalah ibu, beberapa waktu lalu sempat viral perkataan seorang jurnalis wanita, Najwa Shihab, di salah satu acara tv swasta. Ia membuka banyak mata penonton dari pernyataannya dalam menjawab pertanyaan host acara tersebut. “Jika bisa memilih, mau menjadi jurnalis atau ibu rumah tangga?”. Pertanyaan dari pemikiran bias gender tersebut seringkali mencoba memposisikan perempuan sebagai sosok lemah. Padahal tak dapat dipungkiri, perempuan bisa melakukan keduanya. Menjadi ibu rumah tangga sekaligus bekerja. Jika dibalik, apakah bisa laki-laki menjadi bapak rumah tangga sekaligus bekerja?
Menjadi ibu sekaligus perempuan yang bekerja dalam waktu yang bersamaan merupakan tantangan tersendiri. Namun, tak sedikit saat ini ibu rumah tangga walaupun di rumah tetapi tetap produktif dengan berwirausaha secara online. BPS menyebutkan, pada tahun 2020 jumlah perempuan 15 tahun ke atas yang bekerja adalah sebanyak 44.097 jiwa (52,36 persen) dengan lapangan usaha terbanyak adalah perdagangan (50,9 persen) dan pertanian (20,05 persen). Dalam hal ketenagakerjaan, pada 2021 penduduk laki-laki di Merauke lebih banyak yang bekerja (82 persen) dibanding perempuan (52,36 persen). Persentase tenaga kerja formal laki-laki juga lebih besar dibanding perempuan, yaitu 34,6 persen dan 19 persen. Namun kenyataannya, tingkat pengangguran terbuka (TPT) antara laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda yaitu 3,34 dan 3,58 persen. Artinya, walaupun peran perempuan dalam sector usaha formal lebih rendah, tetapi kebanyakan perempuan di Merauke masih melakukan aktivitas bekerja walaupun pada jenis pekerjaan informal ataupun jenis pekerjaan yang tidak memperoleh penghasilan (pekerja keluarga).
Perempuan Masih Rentan Menjadi Korban Kekerasan Seksual
Pekan lalu kita dihebohkan dengan rentetan pemberitaan kekerasan seksual (sexual harassment) terhadap remaja perempuan. Dari kasus Novia Widyasari, hingga kasus-kasus pencabulan santriwati dan mahasiswi di lingkungan sekolah. Di Merauke pun sama, pekan lalu, lewat akun facebook Info Kejadian Kota Meraukediberitakan adanya percobaan pemerkosaan terhadap salah satu perawat RSUD Merauke yang sedang bertugas. Tak hanya itu, tak sedikit pelaporan dari masyarakat terkait maraknya kejadian percobaan pemerkosaan dan kekerasan terhadap perempuan akibat merajalelanya peredaran miras di Merauke. Hal ini harusnya menjadi dasar yang kuat bagi Pemkab Merauke untuk memperkuat aturan terkait usaha perdagangan miras agar kasus kekerasan terhadap perempuan bisa ditekan.
Tidak bisa dipungkiri, kekerasan terhadap perempuan masih sering terjadi. Komnas Perempuan melalui Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan (CATAHU) menyatakan Indonesia mengalami peningkatan pengaduan kasus di masa pandemi. Salah satu kasus yang paling menonjol dalam CATAHU adalah KDRT yaitu kekerasan terhadap istri (50 persen), disusul kekerasan dalam pacaran (20 persen), dan kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak (15%), sisanya adalah kekerasan oleh mantan pacar, mantan suami, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga. Berkaca dari tingginya angka kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, Merauke nampaknya perlu memperluas akses pelaporan bagi perempuan korban kekerasan karena dari CATAHU juga diketahui bahwa kapasitas SDM di Papua masih terbatas untuk melakukan pendokumentasian kekerasan terhadap perempuan.
Menjadi Ibu di Usia yang Masih Sangat Muda
Kekerasan terhadap perempuan juga bisa terjadi dalam pergaulan. Tak ada salahnya bahasan tentang pergaulan remaja juga diangkat. Pergaulan remaja semakin kesini dirasa semakin meresahkan. Culture shock atau gagap/kejut budaya adalah salah satu fenomena yang tidak bisa dinafikan ada dalam masyarakat Merauke yang heterogen. Banyak perantau dari desa atau kampung yang bekerja/sekolah di kota. Budaya dari desa akhirnya mulai luntur membaur dengan budaya perkotaan. Remaja desa yang tadinya tabu dengan istilah pacaran, di kota akhirnya mencoba. Apalagi usia remaja merupakan sebuah fase dimana organ reproduksi dan hormone seksual mulai aktif. Aktivitas pacaran akhirnya mengarah pada dorongan seksual yang diekspresikan melalui perilaku seksual seperti berpegangan tangan, berciuman, berpelukan, bahkan sampai pada hubungan seksual. Hasil SDKI 2017 mengungkapkan sekitar 2 persen remaja perempuan 15-19 tahun pernah melakukan hubungan seksual. Walaupun kecil, namun angka ini bisa jadi fenomena gunung es yang jika dibiarkan dapat merusak masa depan remaja perempuan kita karena konsekuensi dari terjadinya hubungan seksual adalah kehamilan.
Kenyataan yang terjadi, kita dihadapkan pada fenomena fertilitas remaja yang cukup tinggi. Hasil SDKI 2017 mencatat persentase remaja perempuan umur 15-19 tahun di Indonesia yang berstatus kawin atau hidup bersama sebesar 9,3 persen dan 7 persen diantaranya telah menjadi ibu. Hal ini berarti dari 100 remaja perempuan 15-19 tahun, 7 diantaranya pernah melahirkan atau sedang hamil anak pertama di umur yang masih sangat muda. Padahal, remaja perempuan berisiko lebih tinggi mengalami masalah kesehatan dan kematian akibat persalinan dibandingkan perempuan dewasa. WHO (2014) mencatat kematian akibat komplikasi melahirkan merupakan penyebab utama kematian remaja perempuan karena organ reproduksi mereka belum sepenuhnya matang untuk melahirkan. Di samping risiko kesehatan, remaja perempuan yang telah menjadi ibu di usia muda juga cenderung terhambat untuk melanjutkan pendidikan dan partisipasi kerja. Memang belum ada data remaja perempuan di Merauke yang sudah menjadi ibu. Namun, data Indonesia mampu mewakili kondisi serupa di Merauke.
Peningkatan Pendidikan Sebagai Solusi Pemberdayaan Perempuan di Merauke
Hasil SDKI 2017 menyebutkan bahwa perempuan Indonesia memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi dibanding laki-laki. Pada tingkat perguruan tinggi, persentase perempuan usia 15-49 tahun yang menamatkan perguruan tinggi sebesar 16 persen sedangkan laki-laki hanya 13 persen. Namun, tidak demikian dengan kondisi perempuan di Merauke. Hasil Sakernas 2019 menyebutkan perempuan usia 15 tahun ke atas yang bekerja, hanya 29,52 persen saja yang berpendidikan SMA atau perguruan tinggi. Lebih jauh, di saat IPG Provinsi Papua pada 2020 adalah yang terendah di Indonesia yaitu 79,59, IPG Kabupaten Merauke sudah mencapai 87,84. Namun masih tergolong rendah karena masih di bawah IPG Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Lanny Jaya, Nabire, Biak Numfor, dan Kepulauan Yapen. Rendahnya IPG mencerminkan tingginya angka kekerasan berbasis gender serta rendahnya akses maupun pemenuhan hak dasar perempuan terhadap pelayanan kesehatan dan pendidikan.
Dari karakteristik pendidikan, ada kecenderungan semakin tinggi tingkat pendidikan remaja, semakin rendah persentase remaja perempuan yang telah menjadi ibu di usia muda. Remaja perempuan tamat SD yang telah menjadi ibu persentasenya 37 persen, sementara remaja perempuan tamatan perguruan tinggi yang telah menjadi ibu persentasenya hanya 1 persen. Dari karakteristik tingkat kekayaan, ada kecenderungan serupa, semakin tinggi tingkat kekayaan semakin rendah kecenderungan remaja perempuan telah menjadi ibu. Dari gambaran di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemberdayaan perempuan melalui peningkatan partisipasi pendidikan dan tingkat kekayaan yang dianalogikan dengan partisipasi kerja mampu menjadi benteng pertahanan remaja untuk lebih produktif dibanding memiliki anak. Produktivitas remaja mendorong pendewasaan umur melahirkan yang berarti membantu perempuan melindungi kesehatan reproduksinya. Remaja perempuan berpendidikan lebih tinggi diharapkan memiliki pemahaman kesehatan reproduksi yang lebih komprehensif dan membentuk persepsi positif untuk menghindari kehamilan di usia remaja. Melalui pendidikan pula, remaja perempuan lebih berdaya untuk mampu menerapkan perilaku seksual yang sehat dan aman. Kesehatan reproduksi remaja perempuan yang terlindungi berarti melindungi generasi saat ini dan nanti untuk memiliki masa depan yang lebih baik.[***]