Menanggapi Wacana Pendidikan Inklusif Ingin Di-Perda-kan

0
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Thiasony Betaubun

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Thiasony Betaubun

Merauke, PSP – Wacana pembuatan Peraturan daerah (perda) di Kabupaten Merauke tentang pendidikan inklusif pada anak-anak disabilitas sempat disuarakan oleh salah satu Pimpinan DPRD Kabupaten Merauke.

Wacana itu kemudian mulai bergulir di tengah masyarakat. Terkait wacana tersebut, Kepala Dinas (Kadis) Pendidikan dan Kebuadayaan Kabupaten Merauke Thiasony Betaubun menanggapinya.

Menurut dia, wacana pembuatan peraturan pemerintah daerah (perda) tentang pendidikan inklusif pada anak-anak disabilitas, tentu kita harus membaca UU No 20 tahun 2003, tentang sistem pendidikan nasional, kemudian peraturan pemerintah provinsi No 2 tahun 2013 tentang regulasi pendidikan dan kemudian pada perda merauke No 3 tahun 2018 tentang bagaimana pendidikan terlebih dahulu.

“Bahkan sampai kita kembali pada regulasi umum adalah peraturan pemerintah republik Indonesia nomor 57 tahun 2021 tentang strategi pendidikan. Jadi saya kira ini menjadi barometer pertama untuk kita harus pegang, bahwa regulasi dari pusat sampai daerah kita tetapkan dulu, soal nanti keberpihakan bahwa ini pendidikan tunanetra, pendidikan inklusif maupun pendidikan formal dan informl, saya kira dulu kita sebut cuma satu yaitu pendidikan formal dan informal,” ungkap Thiasony saat dijumpa di ruang kerjanya beberapa waktu ini.

sampai sekarang Sekolah Luar Biasa (SLB) baik SD, SMP dan SMA belum diserahkan pada tingkat daerah kabupaten Merauke. “Memang pendidikan ini kalau kita mau mengikuti dengan baik, semua bagian telah diatur, tinggal bagaimana kita mengoptimalisasi untuk pendidikan tetap berjalan dengan baik,” kata dia.

Regulasi yang di buat adalah DPRD maupun yang akan didiskusikan bersama-sama untuk mencapai tujuan pendidikan sesuai dengan apa yang kita inginkan, tentu ada orang-orang yang terlibat dalam membangun pendidikan harus yang betul-betul terpanggil dengan hati dan mau bekerja dengan hati untuk membangun pendidikan ini.

Selain itu, kata dia, pendidikan yang pertama sekali adalah dengan mempunyai data yang valid, dari data itulah yang akan dibuat perencanaan, implementasi, monitoring, evaluasi, pelaporan, pencapaian dan tujuan. Inilah tahapan-tahap yang harus di proses, kadang-kadang orang hanya menanyakan sebab akibat saja, tanpa melihat rekam jejaknya, dan semua sekolah jika tidak mempunyai data, maka dana alokasi khusus tidak akan di turunkan oleh pemerintah pusat.

“Semua sekolah pada dapodik harus menginput seluruh rangkaian kegiatan dan kebutuhan sekolah, dan inilah yang di sebut dengan memerlukan fasilitas ruangan laboratorium, ruangan perpustakaan, ruang kelas, MCK dan tenaga guru, komputer dan lainnya yang berkaitan dengan sarana dan prasarana sekolah, jika proses ini di fasilitasi, semuanya akan optimal,” pungkasnya.

Dikutip dari website Kemendikbud.com, Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.

Pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 ayat (1) yang menegaskan “setiap warga  berhak mendapatkan pendidikan”; Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 ayat (2) yang menegaskan “setiap warga wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 5 ayat (1) yang menegaskan “setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Undang-undang inilah yang menjadi bukti kuat hadirnya pendidikan inklusi ditengah masyarah.

Pada pendidikan dasar, kehadiran pendidikan inklusi perlu mendapat perhatian lebih. Pendidikan inklusif sebagai layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus (ABK) belajar  bersama anak normal (non-ABK) usia sebayanya di kelas ank ar/biasa yang terdekat dengan tempat tinggalnya.  Menerima ABK di Sekolah Dasar terdekat merupakan mimpi yang indah yang dirasakan orang tua yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus.

Sayangnya, SD Inklusi yang sudah “terlanjur” menerima tidak langsung dengan mudahnya menangani anak-anak yang sekolah dengan kebutuhan khusus itu. Kurikulum harus dapat disesuaikan dengan kelas yang heterogen dengan karakteristik ABK dan regular. Guru belum siap untuk menangani anak-anak dikelasnya dengan karakteristik yang berbeda. Akhirnya, guru-guru yang berhadapan langsung dengan ABK di kelas mengeluh dan sulit untuk mengajar satu metode yang sama dan dengan perlakuakuan yang sama sehingga tujuan pembelajaran tidak tercapai seperti yang diharapkan. Pengembangan kurikulum dapat dilakukan sebagai upaya menciptakan pembelajaran yang menyenangkan dan tujuan pembelajaran dapat tercapai dalam pendidikan inklusi.

Pendidikan inklusi di SD belum beriiringan dengan visi pendidikan belum berdasarkan inklusi ethos yang mengedepankan keragaman dan kesamaan hak dalam memperoleh pedidikan. Kurikulum dan metode pengajaran yang kaku dan sulit diakses oleh ABK masih ditemukan pada kelas inklusi. Pengintergrasian kurikulum belum dapat dilakukan oleh guru Karena kemampuan guru yang terbatas.  Guru-guru belum mendapatkan training yang praktikal dan kebanyakan yang diberikan sifatnya hanya sebatas sosialisasi saja. Wali kelas dan atau guru bidang studi yang kedapatan dikelasnya ada ABK masih menunjukkan sikap “terpaksa” dalam mendampingi ABK memahami materi.  [RADE-NAL]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *