SMAN 1 Merauke, Selenggarakan Layanan Pendidikan Inklusif Bagi “Anak-Anak Aibon”

Penyelenggaan layanan pendidikan inklusif bagi anak-anak pecandu lem aibon.Foto: PSP/WEND
Merauke, PSP – SMAN 1 Merauke menyelenggarakan layanan pendidikan inklusif bagi anak-anak pecandu lem aibon. Pasalnya, selama ini banyak dari mereka merupakan anak putus sekolah, kemudian bekerja sebagai pemulung untuk bisa membeli lem aibon.
Kepala SMAN 1 Merauke, Sergius Wamsiwor mengatakan bahwa tujuan memberi layanan pendidikan bagi anak-anak pecandu lem aibon ini adalah agar nantinya anak-anak tidak semakin termarginalkan dan kedepan bisa memiliki masadepan yang lebih baik.
“Supaya anak-anak ini tidak semakin termarginalkan dan dia tidak hanya kesana kemari tanpa memperoleh pendidikan. Upaya ini adalah bagian dari pada interfensi negara,” ujar Sergius kepada wartawan, Kamis (18/6/2020).
Sergius menuturkan, bahwa SMAN 1 dalam memberi layanan pendidikan bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk gereja dan SMA Satu Atap Wasur.
“Kami sudah siap bekerja, kami memulainya dengan bekerja sama dengan gereja, baik gereja protestan, gereja katolik yang bersedia memberikan sambungan tangan atau pemberkatan. mengingat kegiatan yang kami lakukan adalah ini meruapakan bagian dari pencerdaskan dan menyelamatkan masadepan anak-anak,” ujarnya.
Ia menyebtukan, setidaknya ada ratusan anak pecandu lem aibon yang sangat membutuhkan uluran tangan dan setuhan pendidikan “Anak-anak yang ada disini ada sekitar 130, ini merupakan angka yang tinggi untuk satu wilayah. Hampir dari mereka putus sekolah, ada yang sama sekali belum sekolah,” ketusnya.
Nantinya, ia akan membuka keas belajar yang intensif setara dengan pembelajaran disekolah-sekolah formal. Hal ini untuk mengejar ketertinggalan belajar mereka.
“Kita akan membuka kelompok-kelompok belajar, yang peruntukannya untuk anak yang ada disini. Kemudian yang nanti akan dibimbing adalah guru-guru SMAN 1 Merauke dan guru dari SMA Satu Atap Wasur,” pungkasnya.
Dalam pelaksanaan pembelajaran, imbuh Sergius, nantinya anak-anak akan dibagi berdasarakan kemampuan dan usia masing-masing. “Kita akan mengidentifikasi dan mengelompokan dia berdasarkan kebutuhan dan usia mereka. Dia punya hak mendampatkan pendidikan seperti sekolah formal, jadi nantinya mereka akan belajar selama 6 hari seperti sekolah formal,” ujarnya.
Sementara itu, salah seorang guru yang juga mendidik dan menganani anak-anak aibon, Melania Triharteti mengungkapkan bahwa ia tergerak karena sangat mencintai anak-anak. Ia merasa sangat prihatin atas kondisi dan nasib mereka, sehingga ia tergerak untuk terlibat menjadi pendidik bagi mereka.
“Saya sebagai warga gereja sangat memiliki kecintaan kepada anak-anak, dan merasa sangat miris. Saya sangat inggin mereka mempunyai kehidupan yang lebih baik. Ketika mereka tidak sekolah, menghirup aibon, memulung, jadi tukang parkir. saya sangat merasa sedih. Saya memiliki kerinduan bahwa anak-anak saya boleh merasakan pendidikan dan berdiri sendiri ditanah kami Papua. Semoga tuhan membantu kami lewat tangan-tangan gereja dan pendidikan. Kami yakin dan percaya mereka akan memiliki masa depan,” harapnya.
Selain itu, Pastor Paroki Santa Maria, James Kumolontang sangat mengapresiasi dan menyambut baik atas langkah dan perhatian yang dilakukan oleh SMAN 1 kepada anak-anak pecandu lem aibon.
“Ini susuatu yang sangat baik. Sejauh saya amati, anak-anak disini tidak tersentuh dengan pendidikan formal. Kelompok belajar ini saya pikir merupakan sarana yang baik bagi anak-anak untuk kemudian mereka bisa punya masa depan yang baik,” ucapnya.
Pastor James berharap, nantinya anak-anak tidak hanya mendapatkan pemahaman tentang ilmu pengetahuan, tetapi juga memiliki sikap dan perilaku yang mulia. “Saya berharap anak-anak memiliki pendidikan yang baik, tidak hanya soal pemahaman dan pengetahuan, tetapi juga moral dan iman. Sehingga anak-anak bisa lebih baik lagi kedepannya. Paling tidak mereka mampu menjaga diri degan kondisi saat ini, dimana banyak yang terkontaminasi dengan teman-temannya yang menghirup aibon,” tutupnya. [WEND-NAL]