Pihak Adat dan Agama Terus Pertanyakan Hak Mereka di MRP Selatan

Dari adat dan agama saat jumpa pers. Foto: PSP/ERS
Merauke, PSP – Persoalan mengenai pemilihan anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) Selatan masih terus bergulir.
Sejak awal penetapan nama – nama oleh panitia pemilihan, mengenai pembagian kursi terhadap keterwakilan agama, perempuan hingga metode uji publikasi, terhadap nama – nama pun masih menjadi polemik.
Kali ini, pihak adat dan pihak agama pun kembali menyuarakan protes akibat tidak terakomodirnya hak.
Perwakilan Gereja Kemah Injil Indonesia di Merauke – Papua Pendeta Okto Kaize, saat menggelar jumpa pers di Jalan Ahmad Yani kemarin mengatakan, dengan adanya berbagai polemik mengenai pemilihan MRP Selatan memunculkan telah terjadinya kesalahan.
“Saya menilai hal ini sejak awal memang sudah terjadi kesalahan, begitupun mengenai pembagian kuota yang tidak rapi,” ujar dia.
Sudah selayaknya, kata Pendeta Okto, pembagian kuota agama berlangsung adil dan jujur. Menurut dia, figur yang akan menduduki kursi di MRP akan bekerja melayani masyarakat bukan melayani gereja.
“Hal mengenai uji publik juga, saya melihat tidak berlangsung menjangkau masyarakat ke kampung – kampung misalnya, bapak Gubernur kami kecewa. Karena ada nama yang sama sekali tidak verifikasi namanya keluar di penetapan, lalu kami yang sudah bersusah payah mengurus berkas seperti apa,” kata dia.
Ditempat yang sama Imanuel Buyuka asal Pulau Kimaam yang sempat mengikuti pemilihan MRP turut menyuarakan protesnya.
Sebab, namanya yang semula masuk di panitia kabupaten dengan nomor urut empat dan ditetapkan untuk masuk di panitia pemilihan Provinsi hilang seketika.
“Tapi nama kami hilang di Provinsi, lalu nama yang tidak pernah mengikuti dan tidak pernah ada di panitia kabupaten ada nama nya di Provinsi,” kata Buyuka.
Menurut Buyuka, pembagian kuota untuk adat tidak lah adil terkhusus bagi Marind – Anim yang ada di Merauke.
“Mereka cuma ingat empat mata angin, Mayo, IMO, Esam, Sosom tapi mereka lupa suku Kimalima yang mendominasi masyarakat asli di Pulau Kimaam tapi kami tidak ada nama, ini membuat kami resah,” ujarnya.
Kendati demikian, kata Buyuka, tidak hendak berbicara muluk – muluk namun hanya ingin mempertanyakan dimana hak. “Kami hanya ingin mempertanyakan hak kami. Kemarin itu kami mau orasi di kantor Gubernur tapi pak Gubernur katanya ada diluar Merauke,” pungkas Buyuka. [ERS-NAL]