Masyarakat Adat Tolak Rencana RDP oleh MRP

Masyarakat membawa spanduk ke kantor Bupati Merauke sebagai bentuk penolakan rencana pelaksanaan RDP oleh MRP, kemarin. Foto: PSP/FHS

Merauke, PSP – Masyarakat adat Marind Imbuti melakukan demo dami menolak rencana Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang akan digelar Majelis Rakyat Papua (MRP). Dalam aksinya masyarakat adat Imbuti membawa spanduk-spanduk yang dibentangkan di Taman Libra. Kemudian massa beranjak menuju Kantor Bupati Merauke dengan menumpangi mobil pick up sambil berteriak ‘tolak RDP-MRP’.

Pesan yang disampaikan dalam spanduk tersebut meminta  pihak keamanan untuk membubarkan RDP -MRP di wilayah adat  Ha Anim. Spanduk lainnya memuat tulisan RDP-MRP sarat kepentingan anti kedamaian, anti Otsus, anti NKRI.

Salah satu tokoh adat Marind, Tarsis Rahail mengatakan  Merauke merupakan  zona damai. Orang Marind punya tanggung jawab menjaga keamanan bersama warga non Papua. Dewan adat Marind menolak dengan tegas MRP yang hendak melakukan rapat RDP di Merauke. “Kami tolak. Kita belum bicara dengan masyarakat Marind soal Otsus,” ujar Tarsis, saat berorasi di halaman kantor Bupati.

MRP, kata dia, belum pamit kepada tetua adat. Jika tuan rumah sudah membuka pintu, baru bisa bicara menyangkut Otsus. “Jadi MRP ini, tidak pamit kepada tua-tua adat. Intinya kita tolak dulu MRP, tidak boleh dulu bikin kegiatan RDP,” tegasnya.

Tokoh adat Marind lainnya, Hendrikus Dinaulik menegaskan pihaknya belum mengetahui  apa agenda dari RDP tersebut hingga saat ini. Sebetulnya, MRP harus konsultasi terlebih dahulu dengan tokoh-tokoh adat. Pihaknya juga sudah memberikan hak mandat kepada MRP untuk berbicara ke Jakarta (pemerintah pusat).

“Ini persoalannya. Jadi kami betul-betul menolak RDP yang dilakukan MRP di Merauke. Kami merasa bahwa, kami telah merdeka,” ucapnya.

Menanggapi aksi yang dilakukan oleh beberapa masyarakat soal RDP oleh MRP, Bupati Merauke, Frederikus Gebze secara tegas mengatakan tidak akan memberikan ijin RDP jika tidak memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan yang telah dibuat.

“ Pertama itu untuk bisa rapat dengar pendapat umum harus ada minimal rekomendasi dari kepala daerah dari empat  wilayah di kabupaten Merauke, dan disitu mereka-mereka yang datang, misalkan dari Mappi, Asmat, Boven Digoel dan Merauke harus kita tau orang-orangnya, karena MRP itu adalah lembaga yang terbuka dan lembaga yang jujur,” ucap Frederikus Gebze di halaman Kantor Bupati, kemarin, (16/11).

Selain itu, MRP harus sudah mengetahui gambaran provinsi Papua sebagai salah satu indikator dalam melaksanakan RDP yang membahas tentang evaluasi Otonomi Khusus (Otsus). “ Yang kedua, kami ingin ingatkan lagi bahwa yang namanya evaluasi terhadap Otsus itu hanya ada indikator, ada parameter, ada poin-poinnya, yang mau dievaluasi itu paling tidak minimal MRP sudah mendapat gambaran dari Provinsi Papua dulu, di Merauke seperti ini, di Asmat seperti ini, di Mappi seperti ini, di Boven Digoel seperti ini, baru datang cari tau benar tidak. Kalau hanya datang kemudian memberikan kesimpulan, itu menurut saya tidak benar dan kami tidak bisa menerima cara-cara seperti itu,” jelasnya.

Untuk itu, Bupati akan melakukan rapat Musyawarah Pimpinan Daerah (MUSPIDA) untuk membahas tentang RDP yang akan dilakukan oleh MRP.

 “Kami terima apa yang menjadi aspirasi dan kami akan rapatkan bersama MUSPIDA. Hari ini juga kami kirim surat ke MRP, sekarang juga kami tolak, kami tidak bisa menerima kalau langkah-langkah itu tidak diikuti. Saya minta nanti tolong disampaikan, Bupati Merauke sebagai ketua asosiasi tidak bisa menerima dan menolak kegiatan ini, lebih bagus kita tunda sampai prosedur yang kita minta ditaati,” tegasnya. Informasi yang dihimpun media, Majelis Rakyat Papua (MRP) direncanakan akan melaksanakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) tentang penilaian efektifitas pelaksanaan Otonomi khusus (Otsus) di tanah Papua, di lima wilayah adat  secara serentak, 17 hingga 18 November 2020. Salah satunya di wilayah adat Anim Ha di Kabupaten Merauke. [JON/FHS-NAL]

This website uses cookies.